Kisah Anak Sopir Angkot Yang Sukses Di New York

New York

Ia melanjutkan perjalanannya dengan kendaraan beroda empat. Melewati Manhattan, nafasnya tertahan sejenak: gedung-gedung menjulang, dan puncak Chrysler Building berkilau mirip berlian. Lalu Empire State Building pamer kemegahan. Juga Sungai Hudson, mirip menenggelamkan jiwanya. 

Bronx, beliau juga melewatinya. Sedikit menyurut dari kemewahan Manhattan, di sini lebih banyak kedai cepat saji, pemusik jalanan, dan kemudian lalang orang di subway station. 

Lepas dari Bronx ia menapakkan kaki di Westchester. Kebetulan dikala itu sedang isu terkini gugur. Daun hijau berubah menjadi keemasan, merah muda, merah bau tanah, merah keemasan. Makin romantis dengan terpaan sinar matahari. 

"Ini sambutan untuk aku, aku tidak sedang bermimpi," gumam Iwan Setyawan. Demikian nama lelaki ini.

Gagap Bahasa Inggris
Dari Batu, Malang, Iwan tiba ke New York untuk mewujudkan mimpi. Mimpi yang sangat sederhana: mempunyai kamar tidur sendiri di rumahnya. 

Cita-citanya abad kecil sederhana sekali, dia ingin menjadi Hansip. Dulu itu pekerjaan yang mengagumkan untuknya. "Di lingkungan saya kecil dulu, nggak ada orang yang bekerja pakai seragam. Ya cuma Hansip itu yang pakai baju serba hijau, belt, sepatu. Itu canggih," ujarnya. 

Ke New York, Iwan juga ingin membalas usaha keras orang tuanya, menyekolahkan hingga perguruan tinggi. Iwan memang tak besar di lingkungan cukup. Ayahnya sopir angkot, dan ibunya hanya di rumah, mendidik, dan membentuk hati anak-anaknya.

Keinginan membahagiakan keluarga begitu berpengaruh, hingga akhirnya beliau berangkat mengisi posisidata processing di Nielsen Research New York yang merupakan perusahaan riset terkemuka asal Amerika. Sebenarnya, dari hati kecil beliau tak ingin meninggalkan orang-orang dekatnya di tanah air. Bapak, ibu, kakak, dan adik. 

Dari kecil lelaki kelahiran 2 Desember 1974 ini tak pernah jauh dari keluarga. Ia memang pernah pekerja di Jakarta, di perusahaan sama. Ia juga mencicipi kuliah di Bogor, tempatnya menimba ilmu statistik.

Tapi New York sangat jauh. Ia tak mampu pulang sewaktu-waktu dikala rindu menyerang. Ini sangat menyedihkan untuknya. Tiga bulan pertama di New York, Iwan tinggal bersama rekan yang sudah dianggap sebagai kakaknya, Mbak Ati. Ke mana pun ingin pergi laki-laki bertubuh kecil ini selalu ditemani. Kesedihan makin parah dikala Mbak Ati, teman satu-satunya ini menetapkan pindah ke Australia. Meninggalkan ia seorang diri di negara asing.
Iwan harus melakukan segala sesuatunya sendiri. Ia mulai belajar memasak, mengurus segala tagihan rekening listrik dan telepon sendirian. Dan terpaksa harus mencari sobat baru. Masa adaptasi ini sangat sulit. Sesulit pembiasaan dirinya pada pekerjaan, mengingat bahasa Inggris-nya juga tidak canggih.

"What? What did you say? Would you repeat again?" ceritanya setiap kali ia mencoba berbahasa Inggris. Saat bekerja, dia lebih banyak membisu. Bukan alasannya adalah tak mau bergaul, tapi sebab ia tidak tahu bagaimana harus bicara. 

Namun lelaki yang dipanggil Bayek semasa kecil ini tak mau jalan di tempat. Ia sudah kadung nyemplung ke dunia profesional, dunia yang sangat langka alasannya tidak semua orang beruntung mirip dirinya. Ia lalu memberanikan diri memberikan bahasa Inggris-nya di lingkungan kerja. 

"Saya jadi banyak membaca, menonton TV. Pertama kali ngomong, orang sering banyaknggak ngerti. Ini orang aksennya lucu," ungkapnya. 

Berkarya di luar negeri bukan hanya soal kepiawaian berbahasa, tapi juga kemampuan. Ia sempat minder saat kinerjanya dipertanyakan, mengingat dia hanya lulusan Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bukan dari sekolah popular di Amerika mirip kebanyakan rekannya. 

Iwan membuktikan bahwa dirinya mampu bersaing. Ia bekerja lebih keras dibanding yang lain. Bekerja lebih lama dibandingkan yang lain. Dan menuntaskan lebih banyak pekerjaan dari yang seharusnya.

"Aku pikir, minder itu menutup kita untuk maju. Jadi buat apa minder? Lawan terus, usaha, banyak berguru. Aku coba untuk menantang diriku sendiri. Semakin diremehkan, semakin saya mau nunjukkan aku mampu. Setiap dikasih pekerjaan ABC saya mengerjakannya ABCD. Jam kerjaku seharusnya delapan jam, tapi saya bekerja sepuluh jam," bebernya. 

Kerja kerasnya menerima apresiasi. Iwan yang mengaku penakut ini meraih penghargaanEmployee of the Month di bulan keempat dan kedelapan dirinya bekerja. 

Sendiri Itu Sulit

New York memang kota mewah, tapi Iwan tak lantas menjadi glamour. Ia tetap orang Batu yang sederhana. Ia menyampaikan biaya hidup di sana sangat tinggi. "Aku sering beli lauk di luar terus masak nasi di rumah. Atau bikin rendang, kan bisa buat beberapa hari," ungkapnya.

Soal masakan, Iwan juga sempat melewati kesulitan mengakrabi pasta dan pizza. Lidahnya tetap sambal terasi. Ia memutari kota mencari toko yang menjual bumbu rempah, membuat sambal untuk sahabat makan sehari-hari. 

Pada VIVAlife Iwan yang gemar menebar senyum ini menceritakan bagaimana beliau melewati hari-harinya sendiri. Saat duka dia hanya mampu mengungkapkan perasaannya lewat goresan pena. Setiap hari beliau menelepon keluarganya di Batu. Menceritakan hal apapun kepada ibunya.
Iwan juga mulai menekuni yoga. Awalnya beliau memang tak tertarik dengan yoga, menurutnya yoga hanyalah aktivitas untuk wanita. Sampai karenanya ia menemukan khasiat yoga. Obat ampuh untuk menyembuhkan kesedihan, kesendirian, dan mengusir kesepiannya. 

Lelaki yang hobi bertualang ini juga menceritakan insiden paling tragis ketika ia tinggal di Westchester. Meski daerah ini terbilang paling aman di New York, tapi justru di sinilah beliau babak belur. Pipinya biru terkena pukulan. Badannya berkeringat masbodoh, gemetar. Iwan dirampok sesaat setelah ia ke luar dari ATM.
"Saya nggak ngelawan, nangis-nangis iya," ujar pria yang mengaku tidak pernah tabrak seumur hidupnya ini. Namun kejadian itu tidak lantas membuatnya menyerah dan pulang. Iwan tetap bertahan demi mencapai apa yang dia inginkan.

Ia masih terus membahagiakan keluarganya, lebih dan lebih. Setiap bulan atau bahkan sebulan dua kali ia mentransfer sebagian honor dan bonusnya untuk keluarga lewat sang ibu. Wanita yang selama ini menjadi 'menteri keuangan' keluarga. 

Mencintai New York

Lambat laun penyesuaian dirinya makin mulus. Ia bahkan betah tinggal di negeri yang tak pernah tidur ini. Meski rasa rindu untuk pulang kerap menyelinap. Iwan sudah bisa menikmati New York.
New York yang sempat mencengangkannya dikala pertama kali menginjakkan kaki. "Noraknya tuh pas saya tahu, oh passport tuh kayak gini, bandara John F Kennedy tuh gini ya, gini toh rasanya naik pesawat," ungkapnya mengenang.

Pulang kerja, dia berjalan melewati pertokoan. Sekadar membuang penat atau malah berbelanja. Iwan jadi lebih mengenal fesyen. Ia sadar penampilan menjadi kebutuhan, bukan hanya bagian gaya hidup. 

Dikatakannya, orang-orang di sekeliling turut memberi imbas. "Saya merasa jadi suka baca buku, liat orang-orang baca buku di taman, di bus, di kafetaria. Saya juga liat fesyen orang-orang, cara mereka berpakaian."

Iwan menemukan energinya. Energi yang bisa membuatnya menaiki karier lebih tinggi bahkan menjadi sangat jago. Ia mendapat promosi menjadi Senior Data Processing Executive. Lalu Manager Data Processing Executive, Senior Manager Operations, dan hasilnya sebagai Director Internal Client Management. Anak buahnya tak hanya di kantor tapi tersebar di New York, Chicago, San Fransisco, dan India. Ini bukan posisi main-main.

Membingkai cerita dalam tulisan

Pada 2011 Iwan kembali ke Indonesia. Ia menetapkan pulang setelah menghabiskan 9 musim panas dan 10 musim gugur di New York. Keinginannya memiliki kamar sendiri di rumahnya juga sudah kesampaian.

Baginya New York sudah mengubah hidupnya sangat banyak. Saatnya dia kembali dan menata hidupnya yang gres. 

Belum lama menikmati kemerdekaannya berkumpul bersama keluarga di Batu, Malang, Iwan mendapat tawaran untuk bekerja di Singapura. Sebagai Director Marketing Science di perusahaan marketing research multinasional yang mengawasi enam negara di Asia Tenggara. Gaji yang diberikan jauh lebih besar dari yang beliau terima di New York. Tapi ia menolak.

Alasannya sederhana, beliau ingin melakukan sesuatu untuk keluarganya. Membingkai perjalanan hidupnya, perjuangan orangtuanya, dan kenangan bersama kakak adiknya dalam sebuah buku. Iwan menjadi penulis.
"Keponakan-keponakan aku itu tahunya, om nya sudah pernah jadi eksekutif, kakeknya bukan lagi sopir angkot. Keluarga saya juga tidak pernah punya foto keluarga, jadi saya berbagi potret keluarga lewat tulisan."
Selama enam bulan di Batu ia menyelesaikan 9 Summers 10 Autumns, novel pertama sebagai hadiah untuk bapak. "Saya nggak bisa nulis bila nggak di Batu, kawasan ibu saya ini bikin aku tenang," ujarnya. Enam bulan itu pula beliau mengenang kurun lalunya. 

Bagaimana dulu ia merengek minta sepatu baru karena sepatunya sudah jebol. Bagaimana sesaknya rumah berukuran 6 x 7 meter yang dulu ditinggali bapak, ibuk, dan lima anaknya. 

Bagaimana ia harus berbagi sepiring nasi goreng dengan dua telur ceplok sebagai sarapan istimewa keluarga. Bagaimana sang bapak harus menjual angkot, satu-satunya mesin penghasil uang keluarga demi ia mampu kuliah. Bagaimana bapak harus menjadi sopir truk untuk tetap mengepulkan dapur. Hingga perjalanan kariernya di New York selama 10 tahun.

Tak sedikit air mata yang keluar dikala beliau merangkai kata. "Terkadang kesibukan itu bikin kita lupa evaluasi diri. Dengan menulis, aku jadi mengerti benar masa laluku," ungkap lelaki berambut kelimis ini. 

9 Summers 10 Autumns menjadi nasional best seller. Bertengger juga dalam daftar 10 besar Katulistiwa Literary Award, ajang penghargaan karya sastra terbaik di nusantara. Menyabet penghargaan sebagai Buku Terbaik Jakarta Book Award 2011, dan dicetak dalan versi Inggris berjudul 9 Summers 10 Autumns From the City of Apples to The Big Apple. 

Novel ini juga sudah difilm-kan dengan judul sama, dan segera meluncur di bioskop 25 April mendatang. Ia juga sudah menelurkan novel kedua berjudul Ibuk. Novel yang kali ini dia dedikasikan untuk sang ibu tercinta.

Namun pencapaian-pencapaian ini tak lantas mengubah hidup dan kebiasaan keluarganya. "Ibu saya masih suka nyuruh aku ngepel. Saya suka bilang gini, 'Bu, saya nih penulis terkenal loh'," kelakarnya. 

Setelah dua novelnya terbit, Iwan yang sekarang mendirikan perusahaan data analis mulai sering berkelana keliling Indonesia. Perjalanan backpack-nya menggunakan bus, kereta api, angkot, pesawat, ojek, bajaj, becak, dan perahu. Ia mendapat permintaan untuk menceritakan kisah hidupnya, membagikan semangatnya. 

Hati kecilnya menjalankan dengan senang hati. Ia tak pernah lelah. Tujuannya mencari dua tiga anak sopir angkot untuk bisa mirip dirinya. Ia ingin semua orang melebihi dirinya, meski kendala selalu ada di depan mata. 

"Kalau mau maju, berbuat lebih dari orang lain, bekerja lebih dari orang lain.  Jangan hanya sesuai job desc," ujarnya. (umi)

Baca Juga:  

Komentar